Oleh Taufik Damas
Pindah agama hampir sama dengan kasus perceraian (suami-istri) dalam rumah tangga. Ia merupakan perbuatan halal, tapi Tuhan tidak suka karena akan melahirkan hal-hal yang tidak diinginkan. Setiap umat bergama lebih diharapkan mampu melihat dan memperdalam (mempertegas) nilai-nilai humanistik yang ada dalam agamanya masing-masing, sekaligus mengeliminasi doktrin-doktrin yang tidak sesuai dengan semangat kemanusiaan.
Beberapa hari belakangan ini media massa, khususnya infotainment, memberitakan tentang kasus pindah agama beberapa artis Indonesia. Sebut saja nama Pinkan Mambo dan Rianti Cartwright yang sempat diisukan telah pindah agama karena pernikahan mereka dengan pasangan beda agama. Lepas dari benar atau tidaknya berita tersebut, wacana nikah pasangan beda agama menjadi relevan untuk dibahas kembali.
Memilih agama, pada dasarnya, adalah hak setiap individu. Islam memberikan kebebasan kepada manusia untuk memilih agama sesuai dengan kehendak dan keyakinan masing-masing. Islam menegaskan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama (lâ ikrâha fî ad-dîn) karena setiap orang dipersilakan memilih dan menjalankan agama berdasarkan akal sehat dan hati nurani. Keterpaksaan dalam beragama hanya akan melahirkan sosok-sosok labil yang tidak memiliki dasar filosofis-rasional dalam beragama.
Thaha Jabir Ulwani, Direktur International Institute of Islamic Thought (IIIT) di Amerika Serikat, menyatakan bahwa sejatinya tidak ada sanksi duniawi terhadap orang yang pindah agama. Ia menyatakan hal ini karena Al-Quran tidak pernah memaksa manusia dalam menentukan agama yang ingin dianut. Selain itu, Nabi Muhammad pun tidak pernah memberikan sanksi kepada orang-orang yang keluar dari Islam. Sanksi duniawi terhadap mereka yang pindah agama merupakan produk ulama fikih di kemudian hari dan lebih karena alasan politik dan keamanan (Lâ Ikrâha fî ad-Dîn, Shourouk Dauliyah & IIIT [Mesir]).
Dalam konteks pluralisme, semua agama sama karena bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa. Semua agama mengajarkan nilai-nilai baik yang harus dijalankan oleh umatnya masing-masing. Meski demikian, tidak dipungkiri bahwa dalam agama terdapat perbedaan doktrin yang tidak perlu dipertentangkan. Perbedaan tersebut harus dipahami sebagai bagian dari hak individu setiap pemeluk agama. Mempertentangkan perbedaan yang ada hanya akan melahirkan sikap permusuhan yang merugikan semua pihak. Tugas para pemeluk agama adalah menegaskan pentingnya nilai-nilai kebersamaan dan kesamaan yang dapat diterima oleh semua pihak dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Berdasarkan pandangan pluralistik ini pula pindah agama menjadi sikap yang tidak relevan. Secara sosial, perubahan agama seseorang tidak hanya menyangkut kepentingan pribadi. Banyak faktor yang ikut terpengaruh oleh sikap pindah agama: keluarga, masyarakat, bahkan komunitas agama yang ditinggalkan. Walau tidak dengan kata-kata, pindah agama adalah tohokan paling keras bagi sebuah agama yang ditinggalkan oleh pemeluknya. Tokoh-tokoh agama merasa terpukul jika umatnya melakukan tindakan pindah agama. Karena itulah, pindah agama bukan solusi terbaik bagi umat untuk menyelesaikan problem sosial-teologis-ideologis yang mereka hadapi.
Pindah agama hampir sama dengan kasus perceraian (suami-istri) dalam rumah tangga. Ia merupakan perbuatan halal, tapi Tuhan tidak suka karena akan melahirkan hal-hal yang tidak diinginkan. Setiap umat beragama lebih diharapkan mampu melihat dan memperdalam (mempertegas) nilai-nilai humanistik yang ada dalam agamanya masing-masing, sekaligus mengeliminasi doktrin-doktrin yang tidak sesuai dengan semangat kemanusiaan.
Pindah Agama Karena Pernikahan
Akibat tidak ada undang undang yang memperbolehkan pasangan nikah beda agama di Indonesia, maka setiap pasangan harus menjadi pemeluk satu agama yang sama agar pernikahan mereka dapat pengakuan sah di mata negara. UU Perkawinan No.1 tahun 1974 pada pasal 2 ayat 1 menyatakan bahwa suatu perkawinan dapat dinyatakan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan pasangan yang melakukan pernikahan.
UU ini sebenarnya tidak melarang pernikahan pasangan beda agama. UU ini hanya menyatakan bahwa pernikahan dinyatakan sah jika pernikahan itu sah di mata agama. Pernikahan beda agama akan dianggap sah oleh negara jika dianggap sah oleh agama masing-masing.
Para ulama Islam memilik pandangan yang tidak seragam dalam hal ini. Ada pendapat yang menyatakan pernikahan pasangan beda agama tidak boleh (haram) secara mutlak. Seorang muslim, laki-laki atau perempuan, tidak boleh menikah dengan pasangan yang beda agama. Pendapat yang lain menyatakan bahwa seorang muslim laki-laki boleh menikah dengan perempuan Ahlul Kitab (Yahudi atau Kristen), dan tidak sebaliknya. Namun, pada kenyataannya, seorang muslim lak-laki pun tidak boleh menikah dengan perempuan beda agama demi menjaga kemaslahatan. Dalam Perjanjian Lama, Kitab Ulangan 7:3, umat Nasrani juga dilarang untuk menikah dengan pasangan beda agama. Berbagai pendapat ini semestinya dapat ditinjau ulang agar lebih sesuai dengan kenyataan yang terjadi di masa kini.
Salah satu latar belakang orang pindah agama adalah kasih-sayang (cinta) yang kemudian ditindaklanjuti dalam institusi pernikahan. Realita yang ada menunjukkan bahwa tidak sedikit pasangan kekasih beda agama menjadi seagama demi melancarkan proses pernikahan mereka. Alasan paling mendasar adalah setiap agama “belum” memberikan legitimasi bagi pernikahan beda agama. Maka, terjadilah konversi salah satu pasangan yang sulit untuk dikatakan sebagai terdorong oleh kesadaran religiusitas individual. Dalam kasus seperti ini, pihak keluarga salah satu pasangan yang berpindah agama, tidak jarang harus merasa pasrah dan kalah. Lebih jauh dari itu, institusi pernikahan bisa jadi justru dipilih menjadi salah satu cara untuk mengajak orang lain pindah agama. Hal ini tentu bertentangan dengan semangat toleransi dan pluralisme.
SUMBER : JIL
0 comments:
Post a Comment
Bebas komentar, asalkan tidak mengandung SARA, penghinaan, ataupun hall2 yg tidak sopan, juga tidak untuk beriklan ataupun promosi.