OLEH : ERIK HARYADI
Ketika umat Islam merayakan Idul Fithri, sesungguhnya harus dipahami bahwa seluruh bangunan ajaran Islam dimulai dengan konsep fithrah. Mengapa? Karena manusia dilahirkan dalam fithrah (keadaan asal yang suci).
Dengan berpuasa secara baik dan benar, maka pada saat hari Idul Fitri dengan sendirinya orang beriman akan menyandang predikat fitri, artinya ia kembali kepada kesu nurani, atau yang alamiah—sebab menurut alamiahnya (by nature) manusia itu mencintai kebajikan dan kebenaran. Setelah setahun hati nurani tertutup oleh kepentingan diri, vested interest, kepicikan hati, kesempitan diri, dengan menjalankan ibadah puasa secara benar—tidak hanya menahan makan, minum serta semua yang dapat membatalkan puasa seperti dalam pemahaman fiqih formal namun juga mampu mengendalikan dari godaan dan dorongan hawa nafsu—maka hati nurani akan menjadi baik kembali. Kembali memiliki kepekan ruhani terhadap aturan moral atau akhlak.
Fitrah, dalam hal ini adalah kejadian asal yang suci. Maka manusia menurut asal kejadiannya adalah makhluk yang suci. Dalam sebuah Hadis dijelaskan bahwa “Setiap anak dilahirkan dalam kesucian”. Akibat dari fitrah ini adalah manusia menjadi hanif, yaitu cenderung kepada yang baik dan benar. Karena itu agama yang benar disebut sebagai agama hanif, seperti agama Ibrahim, “Ikutilah ajaran Ibrahim yang murni” (Q., 16: 123), yaitu agama yang secara alami mengikat kepada yang baik dan benar. Hal demikian berarti merupakan pandangan yang sangat optimis mengenai manusia.
Di dalam Al-Quran terdapat ayat yang sangat penting, yaitu Maka hadapkanlah wajahmu benar-benar kepada agama, menurut fitrah Allah yang atas pola itu Ia menciptakan manusia. Tiada perubahan pada ciptaan Allah, itulah agama yang baku, tetapi kebanyakan manusia tidak tahu (Q., 30: 30). Dari ayat ini diketahui bahwa agama yang lurus adalah agama kemanusiaan primordial yang di dalam Al-Quran disebut Adam. Maka Adam merupakan simbol dari manusia primordial.
Penciptaan manusia sebagai makhluk yang baik sehingga selalu mencari yang baik merupakan ketetapan untuk selamanya. Artinya, bahwa sampai kapan pun sifat manusia akan tetap seperti itu. Hal ini kemudian digarap oleh filosof Muslim yang menjadi suatu ajaran mengenai perennial wisdom, bahwa kehanifan dan fitrah menghasilkan suatu wisdom, hikmah. Yaitu suatu wisdom yang abadi, hati manusia yang paling dalam yang selalu cenderung kepada kesucian. Inilah yang sekarang dikenal sebagai perennialisme, yaitu mencoba mengungkapkan apa jati diri manusia yang paling abadi, yang tidak lain adalah fitrahnya dan kehanifannya.
Berbeda dengan pandangan di atas, dalam agama Kristen, karena manusia lahir mewarisi dosa dari Adam, manusia diciptakan dalam kejelekan dan keburukan. Tetapi Tuhan sebagai Yang Maha Pengasih tidak mau melihat umat-Nya sengsara sehingga diutuslah Anak-Nya untuk menjadi sang penebus dosa. Dalam hal dosa-dosa biasa memang dapat ditebus dengan kambing sebagai kurban, tetapi dalam hal dosa asal, karena kelewat besar, maka kurban apa pun tidak dapat menebusnya kecuali kalau Tuhan sendiri yang berkurban. Maka Yesus merupakan Tuhan yang telah menjadi manusia. Perkataan Immanuel yang sebenarnya berarti “Tuhan beserta kita” berubah menjadi Tuhan yang telah menjadi manusia, yaitu Yesus.
0 comments:
Post a Comment
Bebas komentar, asalkan tidak mengandung SARA, penghinaan, ataupun hall2 yg tidak sopan, juga tidak untuk beriklan ataupun promosi.